Thursday, January 16, 2020

REVIEW PERKULIAHAN FILSAFAT PENDIDIKAN TAHUN 2020 DOSEN PENGAMPU : PROF.DR.MARSIGIT, M.A


REVIEW MATA KULIAH FILSAFAT PENDIDIKAN PENELITIAN DAN EVALUASI PENDIDIKAN, DOSEN :  PROF. DR. MARSIGIT,. M.A)

Nama   : Nani Aprilia
NIM    : 1979126016
Prodi   : Penelitian dan Evaluasi Pendidikan (PEP)

Session Theme
Pertemuan I             ( Perkenalan dan Kontak Perkuliahan)
Pertemuan II - IV    ( Quiz dan Pembahasan terkait Filsafat Pendidikan)
Pertemuan V            (Hakekat Filsafat Ilmu)
Pertemuan VI           ( Sejarah Perkembangan Pemikiran Filsafat)
Pertemuan VII          ( Politics and Ideology of Education)
Pertemuan VIII         (Implementasi Ilmu Filsafat kedalam Bidang keilmuan)
Pertemuan IX - XIII (Presentasi hasil implementasi ilmu Filsafat pada bidang
keilmuan masing-masing mahasiswa)
Pertemuan XIV             (Pembahasan Tugas Mahasiswa secara Acak dan share
pengalaman pribadi)
Lecture : Prof. Dr. Marsigit, M.A
Venue: Lantai 4.01.01 Pascasarjana & Diruang Sidang Direktur Pascasarjana Lantai 2
Date   : Setiap Kamis
Time: 11.10 – 12.50 WIB
Your own analysis and learning from the session:

Pertemuan I

Pada Pertemuan Pertama, diawali dengan perkenalan singkat, dilanjutkan dengan penjelasan tentang ketentuan perkuliahan serta tugas rutin membaca dan memberi komentar sejak awal perkuliahan sampai akhir perkuliahan pada Blog Philosophy, Psychology, Spritual, Math Education, Lesson study, Indonesia : Prof. Dr. Marsigit, M.A. untuk memudahkan informasi dan komunikasi dibuatlah Whatsapp grup (WA Grup) kelas Filsafat PEP.

Pertemuan II-IV

Pada pertemuan kedua sampai dengan pertemuan keempat mahasiswa diberikan kuis sebanyak 50 butir pertanyaan untuk menggali seberapa besar pemahaman mahasiswa terhadap filsafat dan mencoba mengevaluasi seberapa banyak pemahaman mahasiswa setelah membaca artikel yang tertulis dalam Blog Philosophy, Psychology, Spritual, Math Education, Lesson study, Indonesia. Mekanisme Kuis diberikan secara tertulis dimana mahasiswa langsung diminta untuk menuliskan jawaban atas pertanyaan yang diberikan oleh Prof. Setelah selesai mahasiswa diminta untuk saling mengoreksi jawaban teman dan menuliskan jumlah benar. Hasil Kuis kemudian di tabulasi dan langsung dikirimkan ke WA grup kelas filsafat. Kemuadian Prof memberikan pemaparan materi terkait kuis yang diberikan, di ulas dengan pemiiran filsafat dan tokoh-tokohnya serta realitasnya yang ada.

Pertemuan Ke V- VI
Pada pertemuan ini prof menjelaskan tentang sejarah perkembangan pemikiran filsafat (mulai dari jaman Yunani - zaman power now). dengan menggunakan media papan tulis, dan membawa bordmarker besar dengan 2 warna yang berbeda. Paparan ini telah tertulis didalam blog beliau Philosophy, Psychology, Spritual, Math Education, Lesson study, Indonesia dengan judul Lahir dan Perjalanan Filsafat.

Pertemuan VII

Melalui Laman Academia.edu Prof. Marsigit menjelaskan makna tabel berjudul “Politics and ideology of education” yang telah dipublish blog beliau Philosophy, Psychology, Spritual, Math Education, Lesson study, Indonesia. Prof. Marsigit, MA, menjelaskan bahwa diindonesia sebagai contoh sulit beralih dari posisi politics dan ideologi pendidikan tradisional menuju modern karena banyak sekali kepentingan didalamnya. Kemudian Prof. Membukan Cmap Theory yang menggambarkan batang tubuh dari sebuah keilmuan. Untuk itu Prof. Menghimbau kepada mahasiswa untuk setiap bidang kajian atau penelitian semestinya memiliki peta konsep tentang keilmuaannya.

Pertemuan VIII

Pada pertemuan ini Prof. Marsigit memberikan wawasan kepada mahasiswa untuk mengembangkan kemampuan berpikir sehingga dapat menggaitkan ilmu filsafat kedalam bidang kajian masing-masing sehingga memiliki pemahaman yang utuh terhadap sebuah konsep/teori dan ini sangat membentu dalam penyusunan disertasi. Prof membuat delapan kolom yang membantu memudahkan cara berpikir mahasiswa adapun penjelasannya adalah sebagai berikut. a) Permasalah/ realitas : Permsalahan dalam pembelajaran sesuai dengan bidang keilmuan/pembelajaran Matematika, IPA, Bahasa, Agama, Sosial, dan lain-lain. b) domain terkait sistem, kurikulum, PM. c) teori : Teori sesuai yang digunakan sebagai kerangka berpikir dalam penelitian. d)paradigma : paradigma yang membantu mendasari teori dan permasalahan. d) ideologi : Ideologi yang dianut, e) filsafat (merujuk pada para filsuf) berupa kajian ontologi (ada, mungkin ada, mengada, pengada), Epistemologi(referensi menurut ahli, sebagai sumber yag valid, justifikasi, macam.metode,tentang ada, mengada, dan pengada. Aksiologi (Etik dan estetika). setiap mahasiswa diminta untuk menetapkan permasalahan dibidang keilmuan masing-masing.

Pertemuan IX-XIII

Pada pertemuan ini mahasiswa mencoba mempresentasikan terkait identifikasi masalah yang ada dalam bidang keilmuan masing-masing, kemudian dari permasalhan tersebut mencoba diangkat kedalam sebuah judul penelitian yang disusun berdasarkan kerangka teori yang benar bersumber dari ilmu filsafat. Pada pertemuan XII-XIII mahasiswa diminta untuk menguraikan permasalahan yang telah diidentifikasi untuk dijadikan sebuah judul dan dikembangkan kedalam desain riset yang diawali dengan menguraikan latar belakang, identifikasi masalah, teori yang relevan, metodelogi yang jelas sampai dengan daftar pustaka yang memadai.

Pertemuan XIV

Pada pertemuan ini Prof. Melanjutkan memaparan dan memantapan pemahaman terkait tugas pada pertemuan sebelumnya. Selanjutnya prof sharing pengalaman pribadi yang bisa dijadikan motivasi dan menginspirasi bukan hanya pengembangan keilmuan di dalam dunia pendidikan tetapi pengalaman tersebut memiliki hikmah yang dalam untuk menjalani kehidupan.

Lesson Learned :
1.         Pada awal perkuliahan saya disadarkan akan sesuatu yang saya anggap saya tahu, ternyata saya tidak tahu. Saya disadarkan akan banyak hal terkait ketidaktahuan saya bahkan terhadap diri saya sendiri. Hal tersebut sesuai dengan pemaparan Prof. Marsigit bahwa persoalan dalam kehidupan seringkali sulit diselesaikan atau seolah rumit diakibatkan individu tersebut tidak mengenal diri sendiri. (evaluasi kuis pada pertemuan II-IV). didalam pembelajaran hal ini sangat penting dilakukan agar individu dalam menuntut ilmu harus disadarkan pada posisi ini agar tidak sombong dengan ilmu yang sudah ada pada dirinya padahal ilmu tersebut belum seberapa.
2.         Dalam proses perjalanan mengikuti perkuliahan filsafat saya dihadapkan pada keniscayaan bahwa dibutuhkan dasar yang kuat dalam setiap kajian di bidang keilmuan yang kita dalami. Melalui pemahaman dasar-dasar filosofi yang kuat, kita bisa mengerti hubungan sebab akibat dari persoalan dibidang kailmuan kita sehingga bisa kita jelaskan dengan terstruktur dan jelas. Dengan belajar filsafat, berpikir filsafat dan berfilsafat menjadi dasar kita untuk menyelesaikan persoalan-persoalan yang dihadapi dengan dasar yang benar.
3.         Belajar filsafat tidaklah mudah, perlu ekstra dan dibutuhkan keihlasan untuk memahami sesuatu yang baru dan memiliki beberapa perbedaan dari kebiasaan dan pemahaman yang telah kita pikirkan misalnya
a. berpikir akan segala sesuatu atau segala hal baik yang ada maupunyang mungkin ada.
b. Berpikir tentang hal-hal yang kontrakdiksi
c. Berpikir tentang segala hal masih sebatas idealitas belum terbiasa dengan realitas (setelah
melalui analisis, eksplorasi yang mendalam)
d. Berpikir tentang pertentangan perjalanan perkembangan filsafat mulai dari
tesis-antitesis-sintesis.
4.         Belajar tentang kehidupan bahwasanya manusia itu adalah mahluk yang sempurna didalam ketidaksempurnaan, artinya manusia itu tidak semata hanya mengandalkan akal pikira semata, melainkan harus mendasarkan pada penggunaan hati dan spiritual.
5.         Individu sejatinya akan terus berpikir dan melalakukan sesuatu karena kodrtanya sebagai infinite regress.
6.         Hikmah untuk kehidupan yang takkan saya lupa dengan uangkapan “ kegiatan saya tidak mampu mengejar tulisan saya, tindakan tidak bisa mengejar tulisanku, perkataanku tidak bisa mengejar pikiranku, pikiran tidak bisa mengejar apa yang ada didalam relung hati”
7.         Belajar adalah membangun, dalam arti bukan hanya membuat menjadi lebih baik yang sifatnya formal dan tekstual melainkan mesti kontektual, realistis, aktif, kreatif berdasarkan analisis kebutuhan dan memiliki kekhasan.

Selain hal tersebut masih banyak sekali yang saya dapatkan dalam perkuliahan filsafat ini, perkuliahan yang didasarkan dengan kontektual, realitas, teoritis dan pengalaman yang nyata yang dituangkan dalam tulisan-tulisan didalam blog Philosophy, Psychology, Spritual, Math Education, Lesson study, Indonesia. Perkuliahan ini tidak hanya memberikan hikmah untuk memperkuat keilmuan dibidang keilmuan masing-masing, tetapi hikmah dalam menjalani kehidupan didunia agar dapat berakhlak baik dan mampu beradaptasi dengan segala kondisi.
Banyak sekali pelajaran bermakna yang yang saya ambil untuk menjalani kehidupan berumah tangga dan mendidik anak yang terselip di setiap pembelajaran yang diberikan. Membantu saya membangun konsep yang utuh untuk memperkat disertasi.

Tiada kata lain yang tepat selain ucapan TERIMA KASIH yang tak terhingga untuk Prof Marsigit, M.A atas semua pembelajaran, pengalaman yang bermakna. semoga menjadi amal ibadah Prof, sehat selalu sehingga bisa menebar manfaat untuk umat. Semoga masih ada kesempatan lain untuk terus belajar dengan Prof. Mohon Maaf atas segala kekurangan dan kehilafan yang saya lakukan selama mengikuti pembelajaran filsafat.





KUMPULAN TUGAS-TUGAS FILSAFAT PENDIDIKAN PENELITIAN DAN EVALUASI PENDIDIKAN TAHUN 2020, DOSEN PENGAMPU PROF.DR. MARSIGIT M,A


1. Identifikasi Permasalahan dalam Pembelajaran

Pendidikan merupakan salah satu bagian penting untuk mendukung pembangunan. Pembangunan yang mendukung pendidikan di arahkan dan bertujuan untuk mengembangkan sumber daya manusia yang berkualitas (Aprilia, 2016). Untuk mengembangkan sumber daya yang berkualitas tersebut dapat dilihat dari segi pendidikan. Pendidikan merupakan suatu usaha sadar dan terencana untuk meyiapkan sumber daya manusia dalam hal ini peserta didik melalui kegiatan bimbingan, latihan dan pengajaran atau pembelajaran. (Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2005). Pembelajaran sendiri adalah cermin kualitas pendidikan itu sendiri. Dimana pembelajaran adalah suatu proses interaksi antara pendidik dengan peserta didik dengan lingkuangan pembelajaran. Pembelajaran yang baik memerlukan perencanaan yang matang mulai dari pemilihan strategi pembelajaran sampai dengan evaluasi pembelajaran tersebut.
Inti dari sebuah pendidikan adalah pembelajaran. Dimana pembelajaran adalah proses interaksi antara peserta didik dengan pendidik. Interaksi tersebut  terjalin secara kompleks antar berbagai aspek dalam diri pribadi yang terlibat dalam proses pembelajaran. Dari peserta didik, interaksi memberikan jaminan bahwa proses akan berjalan dan dapat menghasilkan keluaran (output) yang diharapkan, manakala mahasiswa memiliki motivasi dan kemampuan untuk belajar maka tujuan dari sebuah pembelajaran dapat terwujud. Teori belajar dan pembelajaran mengemukakan bahwa apabila peserta didik terlibat secara aktif dalam pembelajaran, maka output  akan berkualitas (Silbermen, 2006). Teori pembelajaran inilah yang melahirkan pendekatan dan metode pembelajaran yang mengedepankan pada aktifitas peserta didik dalam belajar (student active learning). Dalam pembelajaran selain peserta didik yang berperan aktif, diperlukan pendidik yang berkualitas. Pendidik dalam proses pembelajaran akan menjamin output yang berkualitas apabila pendidik menguasai materi, metode penyajian, menjalin hubungan yang akrab dengan peserta didik, serta kemampuan untuk menjadikan dirinya menarik bagi peserta didik. Dengan kemampuannya inilah, maka proses pembelajaran menjadi menarik, mencerdaskan, menyenangkan dan bermakna.
Pendidik adalah salah satu faktor dalam menjamin kualitas pendidikan, bukan semata hanya ditentukan oleh kurikulumnya. Interaksi antara pendidik dan peserta didik akan menentukan keefektifan dan efesiensi tujuan pembelajaran, sedangkan kurikulum sebagai alat pendidikan yang digunakan untuk menjalin hubungan yang bertujuan untuk menjadikan sistem pendidikan lebih sistematis, terstruktur dan merata. Untuk menciptakan interaksi yang baik dalam proses pembelajaran, pendidik memiliki persyaratan yang harus dipenuhi. Persyaratan pendidik bukan hanya dipandang dari aspek latar belakang pendidikannya saja, tetapi juga memiliki kemampuan dalam mengelola pembelajaran baik  perencanaan, pelaksanaan sampai dengan evaluasi pembelajaran, dan membangun karakter mahasiswa. Hal tersebut telah dipertegas oleh pemerintah berdasarkan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, dimana tugas seorang guru adalah mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai dan mengevaluasi peserta didik, sorang guru harus memiliki empat kompetensi dasar yaitu kompetensi pedagogik, profesional, sosial dan kepribadian.
Akan tetapi fenomena yang terjadi pada saat pembelajaran yang terjadi tidak seindah harapan yang dinyatakan diatas, terdapat banyak kendala dan permasalahan yang terjadi. Berikut ini beberapa permasalahan yang dapat diidentifikasi terkait dengan hal tersebut.
1.        Tuntutan abad ke-21 dalam dunia pendidikan yaitu mengharuskan peserta didik memiliki keseimbangan antara soft skill dan hard skill.
2.        Hakikat pembelajaran biologi yang menekankan pada penguasaan kumpulan pengetahuan dan proses penemuan dapat menunjang pengembangan soft skill terutama ketrampilan problem solving skill.
3.        Diperlukan pendekatan yang sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi untuk mengasah soft skill terutama ketrampilan problem solving skill.
4.        Dalam proses pembelajaran keaktifan peserta didik masih kurang.
5.        Kreatifitas peserta didik masih kurang
6.        Kemandirian belajar dalam mencari infromasi terkait pembelajaran sangat minim, peserta didik masih mengandalkan guru sebagai pusat informasi.
7.        Problem Solving skill dalam menghadapi persoalan dalam pembelajaran ataupun dalam kehidupan nyata belum terbentuk.
8.        Kedisplinan belajar masih rendah, belajar hanya pada saat ada PR bukan merupakan kebutuhan sebagai peserta didik.
9.        Motivasi Belajar rendah
10.    Kemampuan guru dalam menjelaskan materi baru sebatas transfer knowledge, dan guru masih kesulitan dalam pengembangan instrumen penilaian baik tes dan non tes.
11.    Model yang digunakan guru masih konvensioanal dan masih berpedoman pada teori behaviorisme.
12.    Assesmen yang diberikan hanya pada level kognitif tingkat pemahaman.
13.    Kemampuan berpikir kritis masih kurang
14.    Kemampuan mengungkapkan pendapat/ide masih kesulitan dan kurang percaya diri.
15.    Tanggung Jawab peserta didik untuk belajar masih kurang
16.    Di sekolah penilaian masih dominan dengan penilaian ranah kognitif, sehingga pembentukan karakter sosial dan kemampuan psikmotor masih kurang.
17.    Konsep berpikir peserta didik hanya mengejar nilai semata tanpa berkewajiban mengerti materi/ilmunya.
18.    Miskonsep dalam pembelajarn yang sering terjadi baik sebelum pembelajaran yang disebabkan kesalahan memahami dalam membaca buku ajar ataupun pada saat proses pembelajaran tanpa adanya feedback dari guru.


2. Rancangan judul rencana penelitian
a)        Pengembangan model penilaian problem solving skill peserta didik dalam pembelajaran Biologi SMA
b)        Pengembangan instrumen penilaian autentik dalam pembelajaran IPA sesuai dengan Kurikulum 2013
c)        Pengembangan Model pembelajaran aktif yang berbasis pada learning community
d)        Literasi Sains dalam mengembangkan kemampuan problem solving skill
e)        Pengembangan Model pembelajaran berbasis karakter

3. Rancangan Penelitian
A. Judul

A.  Latar Belakang Masalah
Tantangan abad 21 menimbulkan persaingan sumber daya manusia terutama dalam memperoleh lapangan pekerjaan, sehingga dituntut SDM yang berkualitas. Peningkatan SDM merupakan tanggung jawab dunia pendidikan. Pendidikan merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari proses penyiapan SDM yang berkualitas, tangguh, dan terampil. Melalui pendidikan, akan diperoleh calon tenaga kerja yang berkualitas, produktif, dan mampu bersaing. Oleh karena itu, bidang pendidikan sudah seharusnya diterapkan suatu sistem pembelajaran yang mempersiapkan peserta didik untuk memperoleh kecakapan dalam pemenuhan hidupnya di masa mendatang yang berupa ketrampilan baik berupa ketrampilan softskill dan hardskill.
Menurut Wagner (2008) menekankan delapan ketrampilan yang penting di miliki pada era abad ke-21 yaitu: (1) communicationskills; (2) critical and creative thinking; (3) inquiry/reasoning skills;(4) interpersonal skills; (5) multicultural/multilingualliteracy; (6) problem solving; (7) information/digital literacy; dan (8) technological skills. Sedangkan menurut Yani,K, dkk (2018) ketrampilan yang dikembangkan untuk memasuki New World of Work pada abad 21, keterampilan belajar abad 21 mempunyai ciri:1). Critical thinking and problem solving. 2). Creativity and innovation. 3). Collaboration, teamwork, and leadership.4). Cross-cultural understanding, communications information, and media literacy.5). Computing and ICT literacy. 6). Career and learning self-reliance. Berdasarkan ketrampilan yang dikemukan oleh Wagner (2008) ataupun Yani,K dkk (2018) salah satu ketrampilan yang harus dimiliki oleh peserta didik adalah problem solving thinking, dimana ketrampilan ini masuk kedalam ketrampilan softskill. Berdasarkan penelitian Supahar, dkk (2015) mengungkapkan kesuksesan hanya ditentukan sekitar 20% oleh hard skill dan sisanya 80% oleh soft skill. Penelitian ini juga didukung oleh hasil survei pusat kurikulum Depdiknas yang menyatakan kunci kesuksesan adalah 80% mindset dan 20% technical skill. Namun, dalam hal pengembangan aspek softskills yang mengembangkan ketrampilan problem solving thinking dalam pembelajaran di kelas belum mengalokasikan dengan porsi yang memadai. Oleh karena itu, dibutuhkan suatu sistem pembelajaran untuk mengembangkan hal tersebut.
Sistem pembelajaran yang kontekstual dan mengedepankan penemuan konsep secara mandiri akan mempermudah pengembangkan ketrampilan problem solving thinking, hal tersebut sejalan dengan hakikat pembelajaran biologi sebagai salah satu dari Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) yang menekankan pada penguasaan kumpulan pengetahuan (fakta-fakta, konsep-konsep, atau prinsip-prinsip) dan proses penemuan. Konsep sebagai produk harus diperoleh melalui kegiatan yang mengembangkan keterampilan proses. Selain itu salah satu hasil belajar yang dewasa ini kian mendapat perhatian dalam kebijakan dan praktik pendidikan di negeri ini adalah ketrampilan pemecahan masalah (problem solving skills). Beberapa dokumen ‘resmi’ yang menyangkut Kurikulum 2013 misalnya, selalu menyatakan pentingnya pengembangan kecakapan pemecahan masalah sebagai bagian dari life-skill yang semestinya dikembangkan melalui pelaksanaan Kurikulum 2013 tersebut. Oleh karena itu dibutuhkan suatu model asesmen yang dapat menilai secara utuh aspek produk dan aspek proses dalam pembelajaran yang dapat mengukur ketrampilan problem solving thinking. Ketrampilan problem solving thinking, merupkan ketrampilan yang mengembangkan pemecahan masalah, dimana peserta didik dilatih untuk mengungkapkan ketrampilan memecahkan masalah dengan berdasarkan karakter dan prinsip belajar abad 21. Pengembangan model ini berdasarkan karakter belajar abad 21 yang lebih menenkankan pada 1) aspek Communication, pada karakter ini siswa dituntut untuk memahami, mengelola, dan menciptakan komunikasi yang efektif dalam berbagai bentuk dan isi secara lisan, tulisan,dan multimedia; 2) aspek Collaboration, pada karakter ini siswa menunjukkan kemampuannya dalam kerjasama berkelompok dan kepemimpinan, beradaptasi dalam berbagai peran dan tanggungjawab. 3) aspek Critical Thinking and Problem Solving, pada karakter ini siswa berusaha untuk memberikan penalaran yang masuk akal dalam memahami dan membuat pilihan, memahami interkoneksi antara sistem. 4) Aspek Creativity and Innovation, pada karakter ini siswa memiliki kemampuan untuk mengembangkan, melaksanakan, dan menyampaikan gagasan-gagasan baru. Selain empat karakter belajar, pengembangan model penilaian problem solving thinking juga ditekankan dengan 4 ketrampilan lain yang bisa menunjang pembelajaran abad 21 yaitu Ways of thinking (Cara berpikir), Ways of working (Cara kerja dan Komunikasi), Tools for working (Alat untuk bekerja) dan Skills for living  in the world (Keterampilan untuk hidup di dunia).
Berdasarkan penelitian Aprilia (2017) fenomena pembelajaran biologi yang terjadi selama ini di sekolah lebih pada penekanan pemahaman materi yang bersifat hafalan sehingga kurang memberikan pengalaman belajar peserta didik, sehingga perlu dikembangkan sebuah model penilaian kemampuan kinerja proses dalam pembelajaran yang mengarah pada ketrampilan problem solving skill sehingga diharapkan pembelajaran lebih bermakna. Hal tersebut diperkuat dengan penelitian Aprilia dan Destri (2018) mengungkapkan pembelajaran diperguruan tinggi pun masih bersifat konvensional, ceramah, diskusi, dan berbantuan powerpoint, sehingga pembelajaran kurang memberikan belajar bagi mahasiswa.
Berdasarkan paparan di atas perlu dikembangkan sebuah model penilaian untuk melihat pengukur ketrampilan problem solving skill. Peneliti lebih tertarik pada pengembangan aspek penilaian dijadikan focus penelitian karena dalam banyak literatur dikatakan bahwa penilaian sebagai dasar bagi pengembangan pembelajaran. Dengan perkataan lain berhasil atau tidaknya suatu pembelajaran sangat tergantung kepada tepat dan tidaknya penilaian yang dikembangkan. Seperti yang diungkapkan oleh Becker dan Shue (2010) bahwa informasi dari sebuah penilaian akan banyak dipakai oleh stakeholders dan akan digunakan untuk berbagai tujuan seperti untuk meningkatkan hasil belajar, mengembangkan program pembelajaran dan menyajikan serta mengembangkan akuntabilitas pendidikan.
Berdasarkan latar belakang tersebut, terdapat beberapa masalah yang dapat diidentifikasi yaitu:
1.  Tuntutan abad ke-21 dalam dunia pendidikan yaitu mengharuskan peserta didik memiliki keseimbangan antara soft skill dan hard skill.
2.  Hakikat pembelajaran biologi yang menekankan pada penguasaan kumpulan pengetahuan dan proses penemuan dapat menunjang pengembangan soft skill terutama ketrampilan problem solving skill.
3.  Diperlukan pendekatan yang sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi untuk mengasah soft skill terutama ketrampilan problem solving skill.
Penelitian ini membatasi permasalahan pada kebutuhan terhadap model asesmen dalam bentuk kinerja ketrampilan soft skill berupa ketrampilan problem solving skill. berdasarkan karakter belajar abad 21. Pengujian model penilaian yang dikembangkan hanya meliputi pengujian kelayakan produk yang terdiri dari aspek validitas (isi & konstruk) dan aspek kepraktisan.
Rumusan masalah dalam penelitian ini yaitu: Bagaimana kualitas produk pengembangan model penilaian problem solving skill dalam pembelajaran Biologi ? (Plan Riset : dilihat dari a) analisis pakar terkait model & instrumen penilaian, b) uji konstruk model,dll)
A.               Skills Pembelajaran Abad 21
Untuk mengantisipasi kebutuhan akan pengembangan keterampilan pembelajaran yang dituntut pada masa abad 21 pada Sekolah Menengah Atas, Patnership of 21st Century Skills mengidentifikasi bahwa peserta didik harus mampu mengembangkan keterampilan kompetitif yang diperlukan pada abad 21 yang berfokus pada pengembangan keterampilan berpikir tingkat tinggi (higher order thinking skills) seperti: berpikir kritis, pemecahan masalah, keterampilan berkomunikasi, melek TIK, melek informasi dan melek media. Keterampilan berpikir, melakukan penelitian, dan kemampuan menggunakan teknologi informasi merupakan tuntutan yang harus dipenuhi dalam rangka pembelajaran. Shalaway (2005) memberikan penjelasan “knowing how to think – to extend the mind beyond the obvious and develop creative solutions to problems– should be the outcome of a good education. Out thinking skills affect how well we can receive and process new information”. Pada masa teknologi dan informasi menjadi primadona, maka keterampilan berpikir akan memberikan dampak terhadap bagaimana seseorang menerima dan memproses informasi. Salah satu cara yang dapat dikembangkan
oleh guru manakala mengajarkan sejarah adalah dengan mengkreasi atmosfir berpikir. Shalaway (2005) memberikan penjelasan bahwa pencapaian kemampuan berpikir membutuhkan latihan, dan agar latihan dapat dilaksanakan maka guru perlu menciptakan suasana atau atmosfir berpikir di dalam kelasnya. Atmosfir berpikir dapat dikembangkan melalui:
a.         Menguji cara berpikir kita tentang berpikir: jangan beranggapan bahwa kecerdasan siswa secara otomatis menggambarkan kemampuannya berpikir.
b.        Seringkali siswa tidak mengembangkan kemampuan berpikirnya karena selalu dihadapkan pada pertanyaan mudah level rendah.
c.         Mulailah membiasakan siswa berpikir sejak dini.
d.        Berikan siswa sesuatu yang membuat mereka berpikir: biasakan untuk memberikan pertanyaan apa/bagaimana jika……
e.         Biasakan siswa untuk melihat dari sudut pandang yang beragam: jawaban yang jelas sering kali bukan merupakan jawaban yang terbaik; berikan pandangan/pertanyaan yang mengandung pro-kontra.
f.           Dorong siswa untuk menemukan jalinan atau pola yang dapat dikembangkan menjadi keterhubungan. Kemampuan untuk membuat koneksi/keterhubungan merupakan kunci belajar.
g.        Berikan pertanyaan yang tidak konvensional, open-ended, pertanyaan yang mengandung problema akan membiasakan siswa berpikir lateral.
h.        Biasakan siswa untuk menulis, sebab menulis adalah aktivitas intelektual yang terbaik. Menulis identik dengan berpikir.

B.          Konsep Problem Solving
Menurut Marzano dkk (1988) problem solving adalah salah satu bagian dari proses berpikir yang berupa kemampuan untuk memecahkan persoalan. Terminologi problem solving digunakan secara ekstensif dalam psikologi kognitif, untuk mendeksripsikan ‘semua bentuk dari kesadaran/ pengertian/kognisi’. Anderson (1983) misalnya dikutip Marzano dkk (1988) sebagai mengklasifikasikan semua perilaku yang diarahkan kepada tujuan (yang disadari atau tidak disadari) sebagai problem solving. Jika Wickelgren (1974) mendefinisikan problem solving sebagai upaya untuk mencapai tujuan khusus, maka Van Dijk dan Kintsch (1983) dikutip Marzano dkk (1988) sebagai menyatakan bahwa problem solving terjadi bila pencapaian tujuan tertentu mensyaratkan kinerja dan langkah langkah mental tertentu.
Bagi Palumbo (1990) problem solving adalah fungsi dari cara bagaimana stimulus tertentu menjadi input melalui sistem sensori ingatan, diproses dan dikoding melalui memori kerja (working memory/short term memory) dan disimpan bersama asosiasi-asosiasi dan peristiwa-peristiwa (histories) yang sekeluarga dalam memori jangka panjang (Long Term Memory). Di lain pihak, masih menurut Marzano dkk (1988), para pendidik memaknai problem solving secara lebih sempit. Para pendidik umumnya menggunakan istilah problem solving untuk menunjukkan jenis tugas tertentu yang disajikan kepada pebelajar dalam pelajaran matematika, sains dan ilmu sosial. Pemecahan masalah mencakup tindakan mengingat kembali aturan-aturan dan menerapkan langkah langkah yang akan mengantar pebelajar
kepada jawaban yang diharapkan. Sebagai contoh, masalah dalam pelajaran ilmu sosial mungkin melibatkan pebelajar untuk memprediksi pertumbuhan toko-toko di pusat perbelanjaan lokal berdasarkan pola perumahan yang diproyeksikan di wilayah sekitarnya.
Girl dkk (2002) menyatakan bahwa pemecahan masalah adalah proses yang melibatkan penerapan pengetahuan dan ketrampilan-ketrampilan untuk mencapai tujuan. Sedang menurut Gagne & Briggs (1979) unjuk kerja pemecahan masalah itu berupa penciptaan dan penggunaan aturan yang kompleks dan lebih tinggi tingkatannya, untuk mencapai solusi masalah. Dalam pemecahan masalah pebelajar harus merecall/mengundang kembali aturan-aturan yang lebih rendah (subordinate) maupun informasi-informasi yang relevan, yang diasumsikan telah dipelajari sebelumnya. Ketika aturan yang lebih tinggi tingkatannya telah diperoleh, maka pebelajar sangat dimungkinkan akan menggunakannya dalam situasi yang secara fisik berbeda namun secara formal mirip. Dengan perkataan lain, aturan baru yang lebih kompleks yang telah diperoleh itu akan memungkinkan terjadinya transfer belajar. Ihwal pemecahan masalah sebagai salah satu bentuk transfer juga dikemukakan oleh Fuchs dkk (2003) yang menyatakan bahwa pemecahan masalah matematika yang meminta pebelajar menerapkan pengetahuan, ketrampilan- ketrampilan serta strategi strategi pada masalah-masalah baru adalah satu bentuk transfer belajar.
Berdasarkan pemaparan di atas, istilah pemecahan masalah secara umum dapat diartikan sebagai proses untuk menyelesaikan masalah yang ada. Sebagai terjemahan dari istilah problem solving, istilah pemecahan masalah dalam bahasa Indonesia bermakna ganda yaitu proses memecahkan masalah itu sendiri dan hasil dari upaya memecahkan masalah yang dalam bahasa Inggris disebut dengan solution atau solusi.
Palumbo (1990) aspek pertama dari pemrosesan kognitif dalam pemecahan masalah adalah representasi masalah (problem representation). Untuk memahami konsep representasi masalah pertama tama kita harus mencermati wilayah memori yang bertanggungjawab atas representasi masalah. Newell (1980, dikutip Palumbo 1990) sebagai menyatakan bahwa ‘ruang masalah’ (problem space) merupakan unit organisasi dasar bagi semua kegiatan simbolik dan merupakan titik awal bagi semua pemecahan masalah. Ruang masalah adalah kegiatan-kegiatan yang digunakan untuk memecahkan masalah yang mencakup: (a) serangkaian pengetahuan yang dinyatakan (b) operator yang memungkinkan seseorang berpindah dari satu keadaan ke yang lainnya (c) hambatan-hambatan khusus bagi penerapan operator tertentu, dan (d) pengetahuan yang diperlukan untuk memutuskan operator mana yang akan digunakan dalam situasi khusus tertentu.
Unsur kedua yang membentuk representasi masalah adalah konsep tentang ‘lingkungan tugas’ (task environment). Lingkungan tugas dapat dilihat sebagai ‘serangkaian pengetahuan, informasi, fakta-fakta dan hubungan-hubungan yang diperlukan untuk memecahkan masalah tertentu’. Ruang masalah adalah representasi mental dari lingkungan tugas ini. Seseorang memerlukan lingkungantugas yang akurat dan sekaligus mencukupi, karena hal inilah yang menyediakan semua informasi yang secara akurat telah dikoding dan diperlukan bagi keberhasilan pemecahan terhadap masalah.
Lingkungan masalah menjadi lebih komplek bila hubungan-hubungan antar unsur dalam ruang masalah lebih kabur (obscure) dan oleh karena itu memerlukan lebih banyak operasi untuk sampai pada pemecahan masalah. Oleh karena itu, masalah yang semua informasinya disajikan dalam pernyataan masalah lebih mudah untuk dipecahkan ketimbang yang informasinya hilang atau dikaburkan. Riley, Greno, dan Heller (1981) dikutip Palumbo sebagai menyebutkan adanya jenis masalah yang tidak semua informasinya disajikan secara jelas dalam rumusan masalah. Jenis masalah ini memerlukan jenis jaringan kognitif fakta-fakta dan antar hubungan diantara faktafakta agar berhasil dipecahkan.
Jaringan semantik ini dapat mencakup (a) informasi yang disajikan dalam rumusan masalah, (b) informasi terkait yang diambil dari memori jangka panjang (Long Term Memory), (c) tujuan yang diinginkan, dan (d) setiap hubungan yang dapat disusun Memori jangka panjang memuat informasi semantik yang diperlukan untuk memecahkan masalah tertentu. Namun agar informasi itu dapat digunakan maka ia harus diakifkan ke dalam memori kerja. Jika telah diaktifkan maka pemrosesan informasi akan berjalan dalam keterbatasanketerbatasan memori kerja. Pemrosesan itu juga dipengaruhi oleh kondisi dari informasi ketika disimpan ke dalam memori jangka panjang. Informasi yang terlatih dan terpadu dengan baik akan lebih otomatis dan mudah di proses ke dalam memori kerja, karena memerlukan ruang dan perhatian yang lebih sedikit dalam mengaktifkan sub sistem penggerak yang diinginkan.
D.          Karakteristik Proses Pemecahan Masalah well-structured v.s ill-structured
Ge & Land (2004) mencatat bahwa menurut teori pemrosesan informasi, memecahkan masalah yang well-structured mencakup dua proses penting yaitu (a) pembentukkan representasi masalah atau ruang masalah (pemecah masalah melihat lingkungan tugas); dan (b) proses pemecahan masalah yang melibatkan pencarian melalui ruang masalah. Representasi masalah pada intinya memuat penafsiran pemecah masalah terhadap masalah, yang akan menentukan seberapa mudah masalah itu dapat dipecahkan. Pemecah masalah mengambil intisari informasi dan berupaya untuk memahami masalah atau mengaitkannya dengan pengetahuan yang dimilikinya untuk membentuk representasi yang padu. Jika skema1 dapat diaktifkan selama proses representasi masalah maka proses pemecahan masalah akan bersifat ‘schema-driven’ (diarahkan oleh skema) dengan sedikit upaya mencari prosedur pemecahan masalah. Jika skema yang cocok tidak dapat diaktifkan, maka pemecah masalah akan kembali ke tahap awal dan mendefinisikan kembali masalah atau menggunakan metode lain untuk memecahkan masalah. Strategi semacam ini disebut ‘analisa sarana-tujuan’ (means-ends analysis). Berdasarkan penelitian tentang pemecahan masalah terhadulu (misalnya Gick; Greeno, 1978; Simon, tth) Bransfod dan Stein (1993, dalam Borich, 1996) mengajukan model pemecahan masalah IDEAL ( yang merupakan akronim dari lima langkah pemecahan masalah dalam proses pembelajaran berbasis masalah yang terdiri dari Identify, Define, Explore, Act dan Look pen).
Voss dan Post (1988, dalam Ge & Land, 2004) mencatat sejumlah gambaran khas yang ditampilkan oleh pakar/ahli ilmu sosial dalam memecahkan masalah yang bersifat ill-structured sebagai berikut:
a.         Dalam representasi masalah pakar/ahli cenderung menguji konsep-konsep dan hubungannya dengan masalah, membangun faktor-faktor yang dipandang sebagai penyebab masalah, mengisolasi faktor-faktor utama penyebab masalah dan hambatan-hambatan, serta menghargai penyebaran sudut pandang.
b.        Ketika representasi sudah dibangun, solusi-solusi ditarik dengan menemukan jalan untuk mengurangi/mengeliminasi penyebab masalah, yang diikuti dengan pembentukkan prosedur untuk melaksanakan solusi.
c.         Para pakar/ahli cenderung memberi alasan pembenar terhadap solusi yang diajukan, seperti menjelaskan mengapa solusi yang ditawarkan akan berjalan, dan menjelaskan masalah apa yang akan dihadapi jika solusi dilaksanakan.
Berdasarkan berbagai penelitian di atas, Ge & Land (2004) menemukan proses utama untuk memecahkan masalah ill-structured dalam kerangka perancahan yaitu:
(a) representasi masalah, (b) membangun dan memilih solusi, (c) membuat pembenaran, dan (d) memonitor dan mengevaluasi tujuan tujuan dan solusi-solusi. Meskipun memecahkan masalah baik yang ill-structured maupun well-structured sama-sama melibatkan proses representasi masalah, solusi-solusi dan memonitor dan mengevaluasi namun setiap jenis pemecahan masalah melibatkan sistem inkuiri atau serangkaian ketrampilan yang berbeda. Misalnya saja dalam memecahkan masalah yang ill-structured, pemecah masalah perlu memilih esensi masalah dan tujuan tujuan dalam proses representasi masalah. Mereka juga harus membanding- bandingkan dan memilih solusi yang terbaik, mempertimbangkan berbagai hambatan dan alternatif tindakan. Di samping itu mereka juga harus membangun alasan yang masuk akal dan dapat dipertahankan untuk mendukung solusi yang dipilih.
Pengembangan model penilaian ini meliputi dua hal yaitu pengembangan model penilaian dan pengembangan instrumen penilaian. Untuk melihat baik/fit tidaknya model penilaian ini dilihat dari hasil analisis penilaian pakar, uji konstruk, dan keterlaksanaan model. Pengembangan model penilaian ini mengikuti prosedur pengembangan yang diajukan Thiaragajan, Semmel & Semmel (1974: 35) yang dikenal dengan Four-D model. Tahapan dalam Four-D model meliputi empat tahap yaitu: define, design, develop, dan desseminate. Rancangan model dalam penelitian ini hanya meliputi tiga tahap.
Untuk memperoleh data yang terpercaya diperlukan instrumen yang valid dan reliabel. Guna memenuhi hal tersebut, instrumen yang sudah dikembangkan tersebut perlu diuji validitas konstruknya. Secara teoretis, uji validitas konstruk sudah dilakukan dalam proses pengembangan instrumen, yaitu dengan mengembangkan definisi operasional berdasarkan teori sampai dengan penulisan kisi-kisi dan instrumen penelitian. Namun demikian, guna memenuhi validitas konstruk secara empiris, perlu dilakukan pengujian dengan menggunakan model Confirmatory Factor Analysis (CFA).
Sebelum diimplementasikan, model penilaian yang dikembangkan dalam penelitian dilakukan uji coba. Uji coba dilakukan dua kali yaitu uji coba terbatas dan uji coba luas. Hasil uji coba dianalisis untuk mendapatkan model yang fit. Ujicoba dilakukan dengan metode eksperimen semu dengan model pretest-postest control group desain. Subjek untuk uji coba terbatas adalah guru dan siswa kelas X mata pelajaran biologi. Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini berupa: observasi, angket, dokumentasi dan wawancara. Teknik analisis data dalam penelitian ini digunakan teknik analisis diskriptif dan Confirmatory Faktor Analysis (CFA).

Aprilia. 2017. Pengembangan instrumen penilaian psikomotor praktikum biologi di SMA. Prosiding Seminar Nasional. UAD.
Aprilia. 2018. Analisis kebutuhan mahasiswa dalam rangka pengembangan bahan ajar di prodi Pendidikan Biologi FKIP UAD. Prosiding Seminar Nasional Universitas Tidar Magelang.
Borich, G.D. 1996. Effective Teaching Methods. Third Edition, NJ: Prentice Hall
Fuchs, L.S. et all. 2003. Explicitly Teaching for Transfer: Effects on Third-Grade Students’ Mathematical Problem Solving; Journal of Educational Psychology; Vol. 95 (2): 293 – 305
Gagne, R.M. & Briggs, L.J. 1979. Principles of Instructinal Design. Second Edition; New York: Holt, Rinehart and Winston.
Ge, Xun & Land. S.M., 2004. A Conceptual Framework for Scaffolding Ill-Structured Problem solving Processess Using Question Prompts and Peer Interactions; ETR&D: Vol. 52 (2) pp 5-22.
Girl, T.A., Wah, L.K.M., Kang, G.Ng., & Sai, C.L. 2002. New Paradigm for Science Education. A Perspective of Teaching Problem-Solving, Creative Teaching and Primary Science Education; Singapore: Prentice Hall.
Marzano, R.J. et all, 1988. Dimension of Thinking: A Framework for Curriculum and Instruction. Viginia: Association for Supervision and Curriculum Development.
Palumbo.D.B. 1990. Programming Language/Problem-Solving Research: A Review of Relevant Issue. Review of Educational Research; Spring. Vol. 60 (1), pp 65 –89.
Shalaway, L. 2005. Learning to teach. NewYork: scholastic Teaching Resaurce.
Supahar, dkk. 2015. Pengembangan Assesment Kinerja berbasis STEM untuk meningkatkan softskills dan hardskills peserta didik pada pembelajaran fisika SMA. UNY.
Yani, dkk. 2018. Pengembangan Modul pembelajaran KSAVE dalam pembelajaran sejarah. Jurnal : Histori, Vol 1 No 1.