1. Identifikasi Permasalahan dalam Pembelajaran
Pendidikan merupakan salah satu bagian penting
untuk mendukung pembangunan. Pembangunan yang mendukung pendidikan di arahkan dan bertujuan
untuk mengembangkan sumber daya manusia yang berkualitas (Aprilia,
2016). Untuk
mengembangkan sumber daya yang berkualitas tersebut dapat dilihat dari segi
pendidikan. Pendidikan merupakan suatu usaha sadar dan terencana
untuk meyiapkan sumber daya manusia dalam hal ini peserta didik melalui
kegiatan bimbingan, latihan dan pengajaran atau pembelajaran. (Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 2005). Pembelajaran sendiri adalah cermin kualitas pendidikan itu
sendiri. Dimana pembelajaran adalah suatu proses interaksi antara pendidik
dengan peserta didik dengan lingkuangan pembelajaran. Pembelajaran yang baik
memerlukan perencanaan yang matang mulai dari pemilihan strategi pembelajaran
sampai dengan evaluasi pembelajaran tersebut.
Inti dari
sebuah pendidikan adalah pembelajaran. Dimana pembelajaran adalah proses
interaksi antara peserta didik dengan pendidik. Interaksi tersebut terjalin secara kompleks antar berbagai aspek
dalam diri pribadi yang terlibat dalam proses pembelajaran. Dari peserta didik, interaksi
memberikan jaminan bahwa proses akan berjalan dan dapat menghasilkan keluaran
(output) yang diharapkan, manakala mahasiswa memiliki motivasi dan kemampuan untuk
belajar maka tujuan dari sebuah pembelajaran dapat terwujud. Teori belajar dan
pembelajaran mengemukakan bahwa apabila peserta didik terlibat secara aktif
dalam pembelajaran, maka output akan berkualitas (Silbermen,
2006). Teori
pembelajaran inilah yang melahirkan pendekatan dan metode pembelajaran yang
mengedepankan pada aktifitas peserta didik dalam belajar (student active
learning). Dalam pembelajaran selain peserta didik yang berperan aktif,
diperlukan pendidik yang berkualitas. Pendidik dalam proses pembelajaran akan
menjamin output yang berkualitas apabila pendidik menguasai materi, metode
penyajian, menjalin hubungan yang akrab dengan peserta didik, serta kemampuan
untuk menjadikan dirinya menarik bagi peserta didik. Dengan kemampuannya
inilah, maka proses pembelajaran menjadi menarik, mencerdaskan, menyenangkan
dan bermakna.
Pendidik
adalah salah satu faktor
dalam menjamin kualitas pendidikan, bukan semata hanya ditentukan oleh
kurikulumnya. Interaksi antara pendidik dan peserta didik akan menentukan
keefektifan dan efesiensi tujuan pembelajaran, sedangkan kurikulum sebagai alat
pendidikan yang digunakan untuk menjalin hubungan yang bertujuan untuk
menjadikan sistem pendidikan lebih sistematis, terstruktur dan merata. Untuk
menciptakan interaksi yang baik dalam proses pembelajaran, pendidik memiliki persyaratan yang harus
dipenuhi. Persyaratan
pendidik bukan hanya dipandang dari aspek latar belakang pendidikannya saja,
tetapi juga memiliki kemampuan dalam mengelola pembelajaran baik perencanaan, pelaksanaan sampai dengan
evaluasi pembelajaran, dan membangun karakter mahasiswa. Hal tersebut telah
dipertegas oleh pemerintah berdasarkan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005
tentang Guru dan Dosen, dimana tugas seorang guru adalah mendidik, mengajar,
membimbing, mengarahkan, melatih, menilai dan mengevaluasi peserta didik,
sorang guru harus memiliki empat kompetensi dasar yaitu kompetensi pedagogik,
profesional, sosial dan kepribadian.
Akan tetapi fenomena yang terjadi pada saat
pembelajaran yang terjadi tidak seindah harapan yang dinyatakan diatas,
terdapat banyak kendala dan permasalahan yang terjadi. Berikut ini beberapa permasalahan
yang dapat diidentifikasi terkait dengan hal tersebut.
1.
Tuntutan abad ke-21 dalam
dunia pendidikan yaitu mengharuskan peserta didik memiliki keseimbangan antara soft skill dan hard skill.
2.
Hakikat pembelajaran
biologi yang menekankan pada penguasaan kumpulan pengetahuan dan proses
penemuan dapat menunjang pengembangan soft
skill terutama ketrampilan problem
solving skill.
3.
Diperlukan pendekatan
yang sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi untuk mengasah soft skill terutama ketrampilan problem solving skill.
4.
Dalam proses pembelajaran
keaktifan peserta didik masih kurang.
5.
Kreatifitas peserta didik
masih kurang
6.
Kemandirian belajar dalam
mencari infromasi terkait pembelajaran sangat minim, peserta didik masih
mengandalkan guru sebagai pusat informasi.
7.
Problem Solving skill
dalam menghadapi persoalan dalam pembelajaran ataupun dalam kehidupan nyata
belum terbentuk.
8.
Kedisplinan belajar masih
rendah, belajar hanya pada saat ada PR bukan merupakan kebutuhan sebagai
peserta didik.
9.
Motivasi Belajar rendah
10. Kemampuan
guru dalam menjelaskan materi baru sebatas transfer knowledge, dan guru masih
kesulitan dalam pengembangan instrumen penilaian baik tes dan non tes.
11. Model
yang digunakan guru masih konvensioanal dan masih berpedoman pada teori
behaviorisme.
12. Assesmen
yang diberikan hanya pada level kognitif tingkat pemahaman.
13. Kemampuan
berpikir kritis masih kurang
14. Kemampuan
mengungkapkan pendapat/ide masih kesulitan dan kurang percaya diri.
15. Tanggung
Jawab peserta didik untuk belajar masih kurang
16. Di
sekolah penilaian masih dominan dengan penilaian ranah kognitif, sehingga
pembentukan karakter sosial dan kemampuan psikmotor masih kurang.
17. Konsep
berpikir peserta didik hanya mengejar nilai semata tanpa berkewajiban mengerti
materi/ilmunya.
18. Miskonsep
dalam pembelajarn yang sering terjadi baik sebelum pembelajaran yang disebabkan
kesalahan memahami dalam membaca buku ajar ataupun pada saat proses
pembelajaran tanpa adanya feedback dari guru.
2. Rancangan
judul rencana penelitian
a)
Pengembangan model penilaian problem solving
skill peserta didik dalam pembelajaran Biologi SMA
b)
Pengembangan instrumen penilaian autentik dalam
pembelajaran IPA sesuai dengan Kurikulum 2013
c)
Pengembangan Model pembelajaran aktif yang
berbasis pada learning community
d)
Literasi Sains dalam mengembangkan kemampuan problem
solving skill
e)
Pengembangan Model pembelajaran berbasis karakter
3. Rancangan
Penelitian
A. Judul
A. Latar Belakang Masalah
Tantangan abad 21
menimbulkan persaingan sumber daya manusia terutama dalam memperoleh lapangan
pekerjaan, sehingga dituntut SDM yang berkualitas. Peningkatan SDM merupakan
tanggung jawab dunia pendidikan. Pendidikan merupakan bagian yang tidak dapat
dipisahkan dari proses penyiapan SDM yang berkualitas, tangguh, dan terampil.
Melalui pendidikan, akan diperoleh calon tenaga kerja yang berkualitas,
produktif, dan mampu bersaing. Oleh karena itu, bidang pendidikan sudah
seharusnya diterapkan suatu sistem pembelajaran yang mempersiapkan peserta
didik untuk memperoleh kecakapan dalam pemenuhan hidupnya di masa mendatang
yang berupa ketrampilan baik berupa ketrampilan softskill dan hardskill.
Menurut
Wagner (2008) menekankan delapan
ketrampilan yang penting di miliki pada era abad ke-21 yaitu: (1) communicationskills; (2) critical and creative thinking; (3) inquiry/reasoning skills;(4) interpersonal skills; (5) multicultural/multilingualliteracy; (6) problem solving; (7) information/digital literacy; dan (8) technological skills. Sedangkan menurut Yani,K, dkk (2018) ketrampilan yang
dikembangkan untuk memasuki New World of Work pada abad 21, keterampilan belajar abad
21 mempunyai ciri:1). Critical thinking
and problem solving. 2). Creativity and innovation. 3). Collaboration,
teamwork, and leadership.4). Cross-cultural understanding, communications
information, and media literacy.5). Computing and ICT literacy. 6). Career and learning self-reliance. Berdasarkan
ketrampilan yang dikemukan oleh Wagner (2008)
ataupun Yani,K dkk (2018) salah satu
ketrampilan yang harus dimiliki oleh peserta didik adalah problem solving thinking, dimana ketrampilan ini masuk kedalam ketrampilan softskill. Berdasarkan
penelitian Supahar, dkk (2015) mengungkapkan kesuksesan hanya ditentukan
sekitar 20% oleh hard skill dan
sisanya 80% oleh soft skill.
Penelitian ini juga didukung oleh hasil survei pusat kurikulum Depdiknas yang
menyatakan kunci kesuksesan adalah 80% mindset
dan 20% technical skill. Namun,
dalam hal pengembangan aspek softskills yang
mengembangkan ketrampilan problem solving thinking dalam pembelajaran di kelas
belum mengalokasikan dengan porsi yang memadai. Oleh karena itu, dibutuhkan
suatu sistem pembelajaran untuk mengembangkan hal tersebut.
Sistem pembelajaran yang
kontekstual dan mengedepankan penemuan konsep secara mandiri akan mempermudah
pengembangkan ketrampilan problem solving
thinking, hal tersebut sejalan dengan hakikat pembelajaran biologi sebagai
salah satu dari Ilmu Pengetahuan Alam (IPA)
yang menekankan pada penguasaan kumpulan pengetahuan (fakta-fakta,
konsep-konsep, atau prinsip-prinsip) dan proses penemuan. Konsep sebagai produk
harus diperoleh melalui kegiatan yang mengembangkan keterampilan proses. Selain
itu salah satu hasil belajar yang dewasa ini kian mendapat perhatian dalam
kebijakan dan praktik pendidikan di negeri ini adalah ketrampilan pemecahan
masalah (problem solving skills). Beberapa
dokumen ‘resmi’ yang menyangkut
Kurikulum 2013 misalnya, selalu menyatakan pentingnya pengembangan kecakapan
pemecahan masalah sebagai bagian dari life-skill yang semestinya dikembangkan
melalui pelaksanaan Kurikulum 2013 tersebut. Oleh karena itu dibutuhkan suatu
model asesmen yang dapat menilai secara utuh aspek produk dan aspek proses
dalam pembelajaran yang dapat mengukur ketrampilan problem solving thinking. Ketrampilan problem solving thinking, merupkan ketrampilan yang mengembangkan
pemecahan masalah, dimana peserta didik dilatih untuk mengungkapkan ketrampilan
memecahkan masalah dengan berdasarkan karakter dan prinsip belajar abad 21.
Pengembangan model ini berdasarkan karakter belajar abad 21 yang lebih
menenkankan pada 1) aspek Communication,
pada karakter ini siswa dituntut untuk memahami, mengelola, dan menciptakan
komunikasi yang efektif dalam berbagai bentuk dan isi secara lisan, tulisan,dan
multimedia; 2) aspek Collaboration,
pada karakter ini siswa menunjukkan kemampuannya dalam kerjasama berkelompok
dan kepemimpinan, beradaptasi dalam berbagai peran dan tanggungjawab. 3) aspek Critical Thinking and Problem Solving, pada
karakter ini siswa berusaha untuk memberikan penalaran yang masuk akal dalam memahami dan membuat pilihan,
memahami interkoneksi antara sistem.
4) Aspek Creativity and Innovation,
pada karakter ini siswa memiliki kemampuan untuk mengembangkan, melaksanakan,
dan menyampaikan gagasan-gagasan baru. Selain empat karakter belajar,
pengembangan model penilaian problem
solving thinking juga ditekankan dengan 4 ketrampilan lain yang bisa
menunjang pembelajaran abad 21 yaitu Ways of thinking (Cara berpikir), Ways of
working (Cara kerja dan Komunikasi), Tools for working (Alat untuk bekerja)
dan Skills for living in the world (Keterampilan untuk hidup di dunia).
Berdasarkan penelitian
Aprilia (2017) fenomena pembelajaran biologi yang terjadi selama ini di sekolah
lebih pada penekanan pemahaman materi yang bersifat hafalan sehingga kurang
memberikan pengalaman belajar peserta didik, sehingga perlu dikembangkan sebuah
model penilaian kemampuan kinerja proses dalam pembelajaran yang mengarah pada
ketrampilan problem solving skill sehingga
diharapkan pembelajaran lebih bermakna. Hal tersebut diperkuat dengan
penelitian Aprilia dan Destri (2018) mengungkapkan pembelajaran diperguruan
tinggi pun masih bersifat konvensional, ceramah, diskusi, dan berbantuan
powerpoint, sehingga pembelajaran kurang memberikan belajar bagi mahasiswa.
Berdasarkan paparan di
atas perlu dikembangkan sebuah model penilaian untuk melihat pengukur
ketrampilan problem solving skill.
Peneliti lebih tertarik pada pengembangan aspek penilaian dijadikan focus
penelitian karena dalam banyak literatur dikatakan bahwa penilaian sebagai
dasar bagi pengembangan pembelajaran. Dengan perkataan lain berhasil atau
tidaknya suatu pembelajaran sangat tergantung kepada tepat dan tidaknya
penilaian yang dikembangkan. Seperti yang diungkapkan oleh Becker dan Shue
(2010) bahwa informasi dari sebuah penilaian akan banyak dipakai oleh
stakeholders dan akan digunakan untuk berbagai tujuan seperti untuk
meningkatkan hasil belajar, mengembangkan program pembelajaran dan menyajikan
serta mengembangkan akuntabilitas pendidikan.
Berdasarkan latar belakang
tersebut, terdapat beberapa masalah yang dapat diidentifikasi yaitu:
1. Tuntutan
abad ke-21 dalam dunia pendidikan yaitu mengharuskan peserta didik memiliki
keseimbangan antara soft skill dan hard skill.
2. Hakikat
pembelajaran biologi yang menekankan pada penguasaan kumpulan pengetahuan dan
proses penemuan dapat menunjang pengembangan soft skill terutama ketrampilan problem
solving skill.
3. Diperlukan
pendekatan yang sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi untuk
mengasah soft skill terutama
ketrampilan problem solving skill.
Penelitian ini membatasi
permasalahan pada kebutuhan terhadap model asesmen dalam bentuk kinerja
ketrampilan soft skill berupa
ketrampilan problem solving skill. berdasarkan
karakter belajar abad 21. Pengujian model penilaian yang dikembangkan hanya
meliputi pengujian kelayakan produk yang terdiri dari aspek validitas (isi
& konstruk) dan aspek kepraktisan.
Rumusan masalah dalam
penelitian ini yaitu: Bagaimana kualitas produk pengembangan model penilaian problem solving skill dalam pembelajaran Biologi ? (Plan Riset : dilihat dari a) analisis pakar terkait model &
instrumen penilaian, b) uji konstruk model,dll)
A.
Skills
Pembelajaran Abad 21
Untuk
mengantisipasi kebutuhan akan pengembangan keterampilan pembelajaran yang
dituntut pada masa abad 21 pada Sekolah Menengah Atas, Patnership of 21st Century Skills mengidentifikasi bahwa peserta
didik harus mampu mengembangkan keterampilan kompetitif yang diperlukan pada
abad 21 yang berfokus pada pengembangan keterampilan berpikir tingkat tinggi (higher order thinking skills) seperti:
berpikir kritis, pemecahan masalah, keterampilan berkomunikasi, melek TIK,
melek informasi dan melek media. Keterampilan berpikir, melakukan penelitian,
dan kemampuan menggunakan teknologi informasi merupakan tuntutan yang harus
dipenuhi dalam rangka pembelajaran. Shalaway (2005) memberikan penjelasan “knowing how to think – to extend the mind
beyond the obvious and develop creative solutions to problems– should be the
outcome of a good education. Out thinking skills affect how well we can receive
and process new information”. Pada masa teknologi dan informasi menjadi
primadona, maka keterampilan berpikir akan memberikan dampak terhadap bagaimana
seseorang menerima dan memproses informasi. Salah satu cara yang dapat
dikembangkan
oleh guru manakala mengajarkan
sejarah adalah dengan mengkreasi atmosfir berpikir. Shalaway (2005) memberikan
penjelasan bahwa pencapaian kemampuan berpikir membutuhkan latihan, dan agar
latihan dapat dilaksanakan maka guru perlu menciptakan suasana atau atmosfir
berpikir di dalam kelasnya. Atmosfir berpikir dapat dikembangkan melalui:
a.
Menguji cara berpikir
kita tentang berpikir: jangan beranggapan bahwa kecerdasan siswa secara otomatis menggambarkan kemampuannya berpikir.
b.
Seringkali siswa tidak
mengembangkan kemampuan berpikirnya karena selalu dihadapkan pada pertanyaan
mudah level rendah.
c.
Mulailah membiasakan
siswa berpikir sejak dini.
d.
Berikan siswa sesuatu
yang membuat mereka berpikir: biasakan untuk memberikan pertanyaan
apa/bagaimana jika……
e.
Biasakan siswa untuk
melihat dari sudut pandang yang beragam: jawaban yang jelas sering kali bukan
merupakan jawaban yang terbaik; berikan pandangan/pertanyaan yang mengandung pro-kontra.
f.
Dorong siswa untuk
menemukan jalinan atau pola yang dapat dikembangkan menjadi keterhubungan.
Kemampuan untuk membuat koneksi/keterhubungan merupakan kunci belajar.
g.
Berikan pertanyaan yang
tidak konvensional, open-ended,
pertanyaan yang mengandung problema akan membiasakan siswa berpikir lateral.
h.
Biasakan siswa untuk
menulis, sebab menulis adalah aktivitas intelektual yang terbaik. Menulis
identik dengan berpikir.
B.
Konsep
Problem Solving
Menurut Marzano dkk
(1988) problem solving adalah salah
satu bagian dari proses berpikir yang berupa kemampuan untuk memecahkan
persoalan. Terminologi problem solving digunakan
secara ekstensif dalam psikologi kognitif, untuk mendeksripsikan ‘semua bentuk dari
kesadaran/ pengertian/kognisi’. Anderson (1983) misalnya dikutip Marzano dkk
(1988) sebagai mengklasifikasikan semua perilaku yang diarahkan kepada tujuan
(yang disadari atau tidak disadari) sebagai problem
solving. Jika Wickelgren (1974) mendefinisikan problem solving sebagai upaya untuk mencapai tujuan khusus, maka Van Dijk dan Kintsch (1983) dikutip
Marzano dkk (1988) sebagai menyatakan bahwa problem
solving terjadi bila pencapaian tujuan tertentu mensyaratkan kinerja dan
langkah langkah mental tertentu.
Bagi Palumbo (1990) problem solving adalah fungsi dari cara
bagaimana stimulus tertentu menjadi input melalui sistem sensori ingatan,
diproses dan dikoding melalui memori kerja (working
memory/short term memory) dan disimpan bersama asosiasi-asosiasi dan
peristiwa-peristiwa (histories) yang sekeluarga dalam memori jangka panjang (Long Term Memory). Di lain pihak, masih
menurut Marzano dkk (1988), para pendidik memaknai problem solving secara lebih sempit. Para pendidik umumnya
menggunakan istilah problem solving untuk
menunjukkan jenis tugas tertentu yang disajikan kepada pebelajar dalam
pelajaran matematika, sains dan ilmu sosial. Pemecahan masalah mencakup
tindakan mengingat kembali aturan-aturan dan menerapkan langkah langkah yang
akan mengantar pebelajar
kepada jawaban yang diharapkan.
Sebagai contoh, masalah dalam pelajaran ilmu sosial mungkin melibatkan
pebelajar untuk memprediksi pertumbuhan toko-toko di pusat perbelanjaan lokal
berdasarkan pola perumahan yang diproyeksikan di wilayah sekitarnya.
Girl dkk (2002)
menyatakan bahwa pemecahan masalah adalah proses yang melibatkan penerapan
pengetahuan dan ketrampilan-ketrampilan untuk mencapai tujuan. Sedang menurut
Gagne & Briggs (1979) unjuk kerja pemecahan masalah itu berupa penciptaan
dan penggunaan aturan yang kompleks dan lebih tinggi tingkatannya, untuk
mencapai solusi masalah. Dalam pemecahan masalah pebelajar harus
merecall/mengundang kembali aturan-aturan yang lebih rendah (subordinate) maupun informasi-informasi
yang relevan, yang diasumsikan telah dipelajari sebelumnya. Ketika aturan yang
lebih tinggi tingkatannya telah diperoleh, maka pebelajar sangat dimungkinkan
akan menggunakannya dalam situasi yang secara fisik berbeda namun secara formal
mirip. Dengan perkataan lain, aturan baru yang lebih kompleks yang telah
diperoleh itu akan memungkinkan terjadinya transfer belajar. Ihwal pemecahan
masalah sebagai salah satu bentuk transfer juga dikemukakan oleh Fuchs dkk
(2003) yang menyatakan bahwa pemecahan masalah matematika yang meminta
pebelajar menerapkan pengetahuan, ketrampilan- ketrampilan serta strategi
strategi pada masalah-masalah baru adalah satu bentuk transfer belajar.
Berdasarkan pemaparan di
atas, istilah pemecahan masalah secara umum dapat diartikan sebagai proses
untuk menyelesaikan masalah yang ada. Sebagai terjemahan dari istilah problem
solving, istilah pemecahan masalah dalam bahasa Indonesia bermakna ganda yaitu
proses memecahkan masalah itu sendiri dan hasil dari upaya memecahkan masalah
yang dalam bahasa Inggris disebut dengan solution
atau solusi.
Palumbo (1990) aspek
pertama dari pemrosesan kognitif dalam pemecahan masalah adalah representasi
masalah (problem representation).
Untuk memahami konsep representasi masalah pertama tama kita harus mencermati
wilayah memori yang bertanggungjawab atas representasi masalah. Newell (1980,
dikutip Palumbo 1990) sebagai menyatakan bahwa ‘ruang masalah’ (problem space) merupakan unit organisasi
dasar bagi semua kegiatan simbolik dan merupakan titik awal bagi semua
pemecahan masalah. Ruang masalah adalah kegiatan-kegiatan yang digunakan untuk
memecahkan masalah yang mencakup: (a) serangkaian pengetahuan yang dinyatakan
(b) operator yang memungkinkan seseorang berpindah dari satu keadaan ke yang
lainnya (c) hambatan-hambatan khusus bagi penerapan operator tertentu, dan (d)
pengetahuan yang diperlukan untuk memutuskan operator mana yang akan digunakan
dalam situasi khusus tertentu.
Unsur kedua yang
membentuk representasi masalah adalah konsep tentang ‘lingkungan tugas’ (task environment). Lingkungan tugas
dapat dilihat sebagai ‘serangkaian pengetahuan, informasi, fakta-fakta dan
hubungan-hubungan yang diperlukan untuk memecahkan masalah tertentu’. Ruang
masalah adalah representasi mental dari lingkungan tugas ini. Seseorang
memerlukan lingkungantugas yang akurat dan sekaligus mencukupi, karena hal
inilah yang menyediakan semua informasi yang secara akurat telah dikoding dan
diperlukan bagi keberhasilan pemecahan terhadap masalah.
Lingkungan masalah
menjadi lebih komplek bila hubungan-hubungan antar unsur dalam ruang masalah
lebih kabur (obscure) dan oleh karena
itu memerlukan lebih banyak operasi untuk sampai pada pemecahan masalah. Oleh
karena itu, masalah yang semua informasinya disajikan dalam pernyataan masalah
lebih mudah untuk dipecahkan ketimbang yang informasinya hilang atau
dikaburkan. Riley, Greno, dan Heller
(1981) dikutip Palumbo sebagai menyebutkan adanya jenis masalah yang tidak
semua informasinya disajikan secara jelas dalam rumusan masalah. Jenis masalah
ini memerlukan jenis jaringan kognitif fakta-fakta dan antar hubungan diantara
faktafakta agar berhasil dipecahkan.
Jaringan semantik ini
dapat mencakup (a) informasi yang disajikan dalam rumusan masalah, (b)
informasi terkait yang diambil dari memori jangka panjang (Long Term Memory), (c) tujuan yang diinginkan, dan (d) setiap
hubungan yang dapat disusun Memori jangka panjang memuat informasi semantik
yang diperlukan untuk memecahkan masalah tertentu. Namun agar informasi itu
dapat digunakan maka ia harus diakifkan ke dalam memori kerja. Jika telah diaktifkan
maka pemrosesan informasi akan berjalan dalam keterbatasanketerbatasan memori
kerja. Pemrosesan itu juga dipengaruhi oleh kondisi dari informasi ketika
disimpan ke dalam memori jangka panjang. Informasi yang terlatih dan terpadu
dengan baik akan lebih otomatis dan mudah di proses ke dalam memori kerja,
karena memerlukan ruang dan perhatian yang lebih sedikit dalam mengaktifkan sub
sistem penggerak yang diinginkan.
D.
Karakteristik
Proses Pemecahan Masalah well-structured v.s ill-structured
Ge & Land (2004)
mencatat bahwa menurut teori pemrosesan informasi, memecahkan masalah yang
well-structured mencakup dua proses penting yaitu (a) pembentukkan representasi
masalah atau ruang masalah (pemecah masalah melihat lingkungan tugas); dan (b)
proses pemecahan masalah yang melibatkan pencarian melalui ruang masalah.
Representasi masalah pada intinya memuat penafsiran pemecah masalah terhadap
masalah, yang akan menentukan seberapa mudah masalah itu dapat dipecahkan.
Pemecah masalah mengambil intisari informasi dan berupaya untuk memahami
masalah atau mengaitkannya dengan pengetahuan yang dimilikinya untuk membentuk
representasi yang padu. Jika skema1 dapat diaktifkan selama proses representasi
masalah maka proses pemecahan masalah akan bersifat ‘schema-driven’ (diarahkan oleh skema) dengan sedikit upaya mencari
prosedur pemecahan masalah. Jika skema yang cocok tidak dapat diaktifkan, maka
pemecah masalah akan kembali ke tahap awal dan mendefinisikan kembali masalah
atau menggunakan metode lain untuk memecahkan masalah. Strategi semacam ini
disebut ‘analisa sarana-tujuan’ (means-ends
analysis). Berdasarkan penelitian tentang pemecahan masalah terhadulu
(misalnya Gick; Greeno, 1978; Simon, tth) Bransfod dan Stein (1993, dalam
Borich, 1996) mengajukan model pemecahan masalah IDEAL ( yang merupakan akronim
dari lima langkah pemecahan masalah dalam proses pembelajaran berbasis masalah
yang terdiri dari Identify, Define,
Explore, Act dan Look pen).
Voss
dan Post
(1988, dalam Ge & Land, 2004) mencatat sejumlah gambaran khas yang
ditampilkan oleh pakar/ahli ilmu sosial dalam memecahkan masalah yang bersifat
ill-structured sebagai berikut:
a.
Dalam representasi
masalah pakar/ahli cenderung menguji konsep-konsep dan hubungannya dengan
masalah, membangun faktor-faktor yang dipandang sebagai penyebab masalah,
mengisolasi faktor-faktor utama penyebab masalah dan hambatan-hambatan, serta
menghargai penyebaran sudut pandang.
b.
Ketika representasi sudah
dibangun, solusi-solusi ditarik dengan menemukan jalan untuk
mengurangi/mengeliminasi penyebab masalah, yang diikuti dengan pembentukkan
prosedur untuk melaksanakan solusi.
c.
Para pakar/ahli cenderung
memberi alasan pembenar terhadap solusi yang diajukan, seperti menjelaskan
mengapa solusi yang ditawarkan akan berjalan, dan menjelaskan masalah apa yang
akan dihadapi jika solusi dilaksanakan.
Berdasarkan
berbagai penelitian di atas, Ge & Land (2004) menemukan proses utama untuk
memecahkan masalah ill-structured dalam
kerangka perancahan yaitu:
(a) representasi masalah, (b)
membangun dan memilih solusi, (c) membuat pembenaran, dan (d) memonitor dan
mengevaluasi tujuan tujuan dan solusi-solusi. Meskipun memecahkan masalah baik
yang ill-structured maupun well-structured sama-sama melibatkan
proses representasi masalah, solusi-solusi dan memonitor dan mengevaluasi namun
setiap jenis pemecahan masalah melibatkan sistem inkuiri atau serangkaian
ketrampilan yang berbeda. Misalnya saja dalam memecahkan masalah yang ill-structured, pemecah masalah perlu
memilih esensi masalah dan tujuan tujuan dalam proses representasi masalah.
Mereka juga harus membanding- bandingkan dan memilih solusi yang terbaik,
mempertimbangkan berbagai hambatan dan alternatif tindakan. Di samping itu
mereka juga harus membangun alasan yang masuk akal dan dapat dipertahankan
untuk mendukung solusi yang dipilih.
Pengembangan model
penilaian ini meliputi dua hal yaitu pengembangan model penilaian dan
pengembangan instrumen penilaian. Untuk melihat baik/fit tidaknya model
penilaian ini dilihat dari hasil analisis penilaian pakar, uji konstruk, dan
keterlaksanaan model. Pengembangan model penilaian ini mengikuti prosedur
pengembangan yang diajukan Thiaragajan, Semmel & Semmel (1974: 35) yang
dikenal dengan Four-D model. Tahapan
dalam Four-D model meliputi empat
tahap yaitu: define, design, develop, dan
desseminate. Rancangan model dalam penelitian ini hanya meliputi tiga
tahap.
Untuk memperoleh data
yang terpercaya diperlukan instrumen yang valid dan reliabel. Guna memenuhi hal
tersebut, instrumen yang sudah dikembangkan tersebut perlu diuji validitas konstruknya.
Secara teoretis, uji validitas konstruk sudah dilakukan dalam proses
pengembangan instrumen, yaitu dengan mengembangkan definisi operasional
berdasarkan teori sampai dengan penulisan kisi-kisi dan instrumen penelitian.
Namun demikian, guna memenuhi validitas konstruk secara empiris, perlu
dilakukan pengujian dengan menggunakan model
Confirmatory Factor Analysis (CFA).
Sebelum
diimplementasikan, model penilaian yang dikembangkan dalam penelitian dilakukan
uji coba. Uji coba dilakukan dua kali yaitu uji coba terbatas dan uji coba
luas. Hasil uji coba dianalisis untuk mendapatkan model yang fit. Ujicoba
dilakukan dengan metode eksperimen semu dengan model pretest-postest control group desain. Subjek untuk uji coba
terbatas adalah guru dan siswa kelas X mata pelajaran biologi. Teknik
pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini berupa: observasi, angket,
dokumentasi dan wawancara. Teknik analisis data dalam penelitian ini digunakan
teknik analisis diskriptif dan Confirmatory
Faktor Analysis (CFA).
Aprilia.
2017. Pengembangan instrumen penilaian
psikomotor praktikum biologi di SMA. Prosiding Seminar Nasional. UAD.
Aprilia.
2018. Analisis kebutuhan mahasiswa dalam
rangka pengembangan bahan ajar di prodi Pendidikan
Biologi FKIP UAD. Prosiding Seminar Nasional Universitas Tidar Magelang.
Borich, G.D. 1996.
Effective Teaching Methods. Third
Edition, NJ: Prentice Hall
Fuchs, L.S. et all.
2003. Explicitly Teaching for
Transfer: Effects on Third-Grade Students’ Mathematical Problem Solving; Journal of Educational Psychology; Vol. 95 (2): 293 – 305
Gagne,
R.M. & Briggs, L.J. 1979. Principles
of Instructinal Design. Second Edition; New York: Holt, Rinehart and
Winston.
Ge,
Xun & Land. S.M., 2004. A Conceptual
Framework for Scaffolding Ill-Structured Problem solving Processess Using
Question Prompts and Peer Interactions; ETR&D: Vol. 52 (2) pp 5-22.
Girl,
T.A., Wah, L.K.M., Kang, G.Ng., & Sai, C.L. 2002. New Paradigm for Science Education. A Perspective of Teaching
Problem-Solving, Creative Teaching and Primary Science Education;
Singapore: Prentice Hall.
Marzano, R.J. et all,
1988. Dimension of Thinking: A Framework for Curriculum and Instruction.
Viginia: Association for Supervision and Curriculum Development.
Palumbo.D.B. 1990.
Programming Language/Problem-Solving Research: A Review of Relevant Issue.
Review of Educational Research; Spring. Vol. 60 (1), pp 65 –89.
Shalaway, L. 2005. Learning to teach. NewYork: scholastic
Teaching Resaurce.
Supahar,
dkk. 2015. Pengembangan Assesment Kinerja
berbasis STEM untuk meningkatkan softskills dan hardskills peserta didik pada
pembelajaran fisika SMA. UNY.
Yani, dkk. 2018.
Pengembangan Modul pembelajaran KSAVE dalam pembelajaran sejarah. Jurnal : Histori, Vol 1 No 1.